Eloknya Aluan, Hehijauan Sawah di Bujur Matahari

Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M. Hum bersama rekan – rekannya mengadakan workshop dengan tema langkah-langkah mitigasi kultural pandemi Covid-19 melalui workshop sastra dan kekriyaan wayang untuk diaspora Indonesia yang dilaksanakan secara daring pada tanggal 14-15 Oktober 2021. Workshop Sastra dan Kekriyaan Wayang untuk Self Healing dan Peningkatan Kemampuan Pengembangan Ekonomi Kreatif di masa Pandemi Covid-19 tersebut diikuti oleh puluhan peserta yang merupakan Diaspora Indonesia dan Warga Negara Asing (WNA) dari Australia dan Rusia.
Pandemi Covid-19 yang sampai saat ini masih menyerang Indonesia memaksa beberapa golongan masyarakat mengubah cara hidup bahkan cara mencari nafkah ditengah situasi genting dan tidak menentu. Rutinitas yang asing dilakukan sebelum pandemi, kini menjadi hal biasa. Salah satu kebiasaan yang juga muncul, contohnya pada masyarakat adalah berkarya seni.
Wayang Corona, disampaikan oleh Prof. Dr. Suwardi merupakan salah satu produk seni yang muncul akibat kejenuhan masyarakat terhadap pembatasan sosial dan bentuk perlawanan untuk memitigasi pandemi Covid-19. Melalui wayang gubahan baru yang mengangkat simbol-simbol, kisah-kisah bahkan tembang-tembang pengiring khas yang bertemakan masa pandemi, masyarakat secara kreatif dan adaptif bermigrasi dari budaya lama menuju budaya baru pasca pandemi.

Fenomena yang sama terjadi di Aluan, Kecamatan Batu Benawa, Hulu Sungai Tengah. Baru saja bangkit dari keterpurukan pandemi Covid-19, bencana banjir bandang kembali menyapu bersih puing-puing harapan yang baru mereka tanamkan pada Januari 2021. Sekali lagi, Nalagareng Resources berkontribusi pada aspek arsitektural, memberikan pelatihan SDM tentang bagaimana penanganan bangunan dari bambu hingga konsultansi pengembangan site plan jangka panjang. Bersama-sama, masyarakat begitu bersemangat membangkitkan ekonomi Aluan agar kembali stabil. Daripada meratapi nasib akibat pandemi dan banjir bandang, masyarakat bahu-membahu membangun sebuah objek pariwisata baru yang dinamai sebagai Bujur Matahari.
Pembukaan tempat pariwisata ini juga ada kaitannya dengan pergerakan Datu Manggasang bersama anggota Asosiasi Pariwisata Alam Murakata (APAM) yang di pimpin beliau, mendesak DPRD Hulu Sungai Tengah untuk membuka kembali tempat pariwisata di Hulu Sungai Tengah.
Mengapa Bujur Matahari?
Lokasi wisata ini merupakan area persawahan dimana kita dapat melihat matahari terbit di timur dan tenggelam di barat, sehingga kita seolah olah berada tepat dibawah garis bujur matahari. Tempat wisata ini menawarkan spot foto dengan background rangkaian kaki pegunungan meratus dan hamparan sawah luas di sekelilingnya.

TRICKLE DOWN EFFECT
Dalam teori ini, kemakmuran akan dapat tercapai dengan pertumbuhan ekonomiyang tinggi, tanpa perlu memperhitungkan pemerataan ekonomi. Dalam pandanganteori ini, suatu suntikan ekspansi ekonomi akan berdampak padamultiplier effect terhadap pelaku ekonomi di bawahnya, sehingga akan berimbas padakemakmuran. Sebagai contoh pembangunan sektor konstruksi akan terimbas dampak positif jasa kontraktor langsung, produsen dan pedagang besi, produsen dan pedagangsemen, pasir dan seterusnya.
Misi fundamental dari project pariwisata ini adalah untuk mengembalikan pertanian organik dengan input produksi yang efisien dan harga jual tinggi, serta menyerap tenaga kerja lebih banyak dari masyarakat sekitar.
Selain sebagai penghasil beras, lokasi wisata ini juga dijadikan sebagai tempat edukasi tentang dunia pertanian kepada pengunjung, dimana pengunjung dapat ikut serta membajak sawah, menanam padi, ikut memanen, memancing dan lain-lain, sehingga akan terjadi trickle down effect di desa Aluan.
Objek wisata ini akan dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah paket pariwisata terpadu bersama objek pariwisata vital lainnya di Hulu Sungai Tengah.